Bakteri difteri dapat menyerang jaringan apa saja pada tubuh dengan tanda-tanda yang paling menonjol adalah pada tenggorokan dan mulut. Dalam kasus yang parah, infeksi bisa menyebar ke organ tubuh lain seperti jantung dan sistem saraf.
Kawasan Asia Tenggara, sejak tahun 2000 sampai 2015 di setiap tahunnya menempati urutan pertama untuk kasus difteri di dunia. Indonesia merupakan negara dengan kasus insiden difteri terbanyak kedua setelah India di Asia Tenggara. Jumlah kasus difteri yang dilaporkan di Indonesia dari tahun 2011-2015 sebesar 3.203 kasus, sedangkan di India yang memiliki kasus difteri tertinggi dengan jumlah kasus difteri sebesar 18.350 kasus.
Beberapa gejala difteri yang sering dikeluhkan oleh penderita antara lain demam ringan (tidak lebih dari 38,5°C), radang tenggorokan dan sakit saat menelan, suara serak, serta ditemui adanya pseudomembrane putih/keabu-abuan/kehitaman di tonsil, faring, atau laring yang tak mudah lepas (berdarah apabila diangkat). Pada keadaan lebih berat dapat ditandai dengan kesulitan menelan, sesak nafas, stridor dan pembengkakan leher yang tampak seperti leher sapi (bullneck). Kematian biasanya terjadi karena obstruksi/sumbatan jalan nafas, kerusakan otot jantung, serta kelainan susunan saraf pusat dan ginjal.
Penularan difteri terjadi secara droplet (percikan ludah) dari batuk, bersin, muntah, melalui alat makan, atau kontak langsung dari lesi di kulit dan dari barang-barang yang sudah terkontaminasi oleh bakteri difteri. C. diphtheriae. Masa inkubasi difteri antara 2 – 5 hari. Masa penularan penderita 2-4 minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carrier (pembawa) bisa sampai 6 bulan.
Difteri dapat disembuhkan jika penderita tidak terlambat mendapatkan pertolongan, untuk itu segera periksa ke pelayanan kesehatan jika mengalami gejala-gejala difteri. Penanganan difteri akan dilakukan dengan dua jenis obat, yaitu antitoksin berfungsi untuk menetralisasi toksin atau racun difteri yang menyebar dalam tubuh dan antibiotik yang akan membantu tubuh untuk membunuh bakteri dan menyembuhkan infeksi. Dosis penggunaan antibiotik tergantung pada tingkat keparahan gejala dan lama pasien menderita difteri.
Pencegahan utama difteri adalah dengan imunisasi. Indonesia telah melaksanakan program imunisasi termasuk imunisasi difteri sejak lebih 5 dasa warsa. Vaksin untuk imunisasi difteri terdapat 3 jenis, yaitu vaksin DPT-HB-Hib, vaksin DT, dan vaksin Td yang diberikan pada usia berbeda. Waktu yang tepat untuk imunisasi yakni, saat bayi (usia 0-11 Bulan) wajib mendapatkan 3 dosis Imunisasi dasar DPT-HB-Hib (Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis-B dan Haemofilus influensa tipe b) pada usia 2,3 dan 4 bulan. Kemudian dilanjutkan dengan 1 dosis DPT-HB-Hib pada usia 18 bulan. Kemudian saat anak sekolah dasar/sederajat kelas 1 wajib mendapatkan 1 dosis imunisasi DT (Difteri Tetanus) dan di kelas 2 dan 5 wajib mendapatkan imunisasi Td (Tetanus difteri). Dengan melakukan imunisasi, penyakit difteri dapat dicegah dengan tingkat keberhasilan 95 persen. (medical affairs dept./AR)
Sumber :
Buku Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Difteri (Kemenkes, 2017)
http://www.depkes.go.id/article/view/17120500001/-imunisasi-efektif-cegah-difteri.html https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/diphtheria/symptoms-causes/syc-20351897
Jurnal Berkala Epidemiologi, 6 (2) 2018
Sumber Gambar :
https://www.samaritanspurse.org/article/rohingya-refugees-receive-lifesaving-treatment-for-diphtheria/