
Saat ini sedang menjadi topik yang hangat tentang uji secara in-vitro penggunaan Chloroquine dan hydrochloroquine sebagai terapi pengobatan Covid-19. Chloroquine dan hydrochloroquine telah digunakan sejak lama untuk mengobati penyakit malaria, autoimun seperti lupus dan rheumatoid arthritis.. Dengan efek samping dari obat ini adalah, efek psikiatri, aritmia hingga kematian mendadak.
Penggunaan chloroquine dan hydrochloroquine sebagai terapi pada pasien COVID-19 pertama kali dipromosikan oleh seorang ahli virus asal Prancis yaitu Prof. Raoult. Rekomendasi tersebut didasarkan atas teori hasil uji in-vitro mengenai efek obat terhadap replikasi coronavirus, hasil uji eksperimen yang memperlihatkan penghambatan terhadap SARS-CoV, dan hasil uji lainnya. Akibat dari promosi tersebut banyak orang yang menggunakan produk tersebut secara bebas, bahkan dilaporkan setidaknya satu orang meninggal dikarenakan penggunaan chloroquine sulfate sebagai pembersih tangki ikan.
Namun, hingga saat ini belum jelas apakah chloroquine dan hydrochloroquine memiliki efek yang menguntungkan dalam pengobatan COVID-19. Hasil uji Randomized Controlled Trial di China terhadap 30 pasien yang tidak parah, diketahui tidak terdapat efek dari hydroxychloroquine dibandingkan dengan perawatan yang dilakukan saat itu, dengan sebagian besar pasien terbebas dari virus setelah beberapa hari. Sebuah clinical trial yang membandingkan efek chloroquine dengan obat anti–virus ( remdesivir, lopinavis-ritonavir, interferon β1-A) pada 3000 pasien COVID-19 hingga saat ini masih dilakukan.
Jika nanti efek dari chloroquine dan Hydrochlorquine terbukti, pada akhirnya kedua obat tersebut akan menjadi obat yang “ajaib” . Namun, untuk saat ini social distancing terbukti paling ampuh mencegah COVID-19 .
Source: Nicholas Moore. Chloroquine for Covid-19 Infection. Drug Safety, 2020; 43: 393-394.
Sumber gambar: https://indianexpress.com/article/india/who-hcq-chloroquine-not-proven-in-treatment-6421635/